Mie Aceh, Ledakan Rempah dari Ujung Sumatera
perjalanan.id – Mie Aceh adalah salah satu kuliner paling berani dari Tanah Rencong. Hidangan ini bukan mie biasa; ia adalah perpaduan ganas antara mie kuning tebal, bumbu kari kental, rempah-rempah Aceh yang keras, dan aroma daging yang terbakar di wajan besar. Sekali suap, lidah langsung diserbu rasa pedas, gurih, asam, dan sedikit manis yang sulit dilupain.
Asal-usul Mie Aceh konon berakar dari pengaruh pedagang India, Tiongkok, dan Arab yang singgah di Kesultanan Aceh sejak abad ke-15. Mie tebal khas Tiongkok bertemu kari India, ditambah penggunaan kapulaga, cengkeh, adas, dan jintan khas Timur Tengah, lalu disesuaikan dengan selera orang Aceh yang doyan pedas dan berani bumbu. Hasilnya: hidangan yang tegas karakternya, sama tegasnya seperti orang Aceh sendiri.
Ada tiga jenis utama Mie Aceh yang wajib diketahui:
- Mie Aceh Goreng – dimasak kering sampai agak “keriting”, permukaannya sedikit gosong, aroma asapnya kuat.
- Mie Aceh Kuah – disajikan berkuah kental kecokelatan mirip kari, tetapi lebih ringan dan wangi kayu manis.
- 私有Mie Aceh Tumis – setengah kering setengah basah, tekstur paling populer karena bumbu menempel sempurna di tiap helai mie.
Bumbu dasar Mie Aceh luar biasa kayanya: bawang merah, bawang putih, cabe merah giling (bisa sampai 20-30 buah per porsi!), kemiri, ketumbar, jintan, kapulaga, bunga lawang, cengkeh, kayu manis, pala, dan tak lupa eungkot (buah pala kering Aceh) yang memberikan aroma khas tak tertandingi. Semua ditumis hingga benar-benar matang dan berminyak, barulah mie dan topping dimasukkan.
Topping klasiknya biasanya daging sapi atau kambing yang dipotong dadu, ditambah udang, cumi, atau kepiting sesuai selera. Versi termewah memakai daging kepiting rajungan utuh yang diurai di atas mie. Tak lupa irisan acar bawang, emping melinjo goreng, dan taburan bawang goreng renyah. Penyajiannya selalu ditemani jeruk nipis dan sambal cabe rawit ulek yang bisa membuat kepala berkeringat hanya dengan mencium baunya.
Di Aceh sendiri, Mie Aceh paling legendaris disantap malam hari. Warung-warung seperti Mie Razali (Banda Aceh), Mie Aceh Titi Kuning (Medan punya cabang legenda), atau Mie Aceh Bang Jali di Lhokseumawe selalu ramai sampai larut. Pengunjung rela antre demi semangkuk mie yang ditumis langsung di wajan besar berdiameter satu meter, api menyala-nyala, asap mengepul, dan suara “cesss” bumbu bertemu minyak yang bikin perut langsung keroncongan.
Ciri khas lain adalah porsi yang besar dan murah hati. Satu porsi spesial bisa berisi 200-250 gram mie basah plus topping melimpah, cukup membuat pria dewasa kenyang sampai pagi. Orang Aceh biasa menambahkan kata “manyak” (banyak) saat memesan: “Mie Aceh goreng spesial manyak cabe, manyak daging, manyak empeng!” Artinya minta ekstra pedas, ekstra daging, ekstra emping.
Kini Mie Aceh sudah menyebar ke seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Jakarta, Surabaya, bahkan sampai ke Malaysia dan Belanda karena diaspora Aceh. Meski begitu, versi paling ganas tetap yang di tanah asalnya. Banyak yang bilang, kalau belum mencoba Mie Aceh di Aceh pada malam hari sambil mendengar adzan magrib berkumandang, berarti belum lengkap pengalaman kulinernya.
Mie Aceh bukan sekadar makanan; ia adalah identitas. Pedasnya melambangkan keberanian, kaya rempahnya mencerminkan sejarah perdagangan dunia yang pernah singgah, dan kehangatan kuahnya mengingatkan kita pada keramahan orang Aceh yang terkenal “peumulia jamee” (memuliakan tamu).
Jadi, kalau suatu saat Anda berada di Banda Aceh, beranikah memesan level “gleh” (ekstra pedas) sambil menahan air mata bahagia? Karena itulah cara orang Aceh mengatakan: selamat datang, dan selamat jatuh cinta pada rasa.